Proses Kelahiran.
Kelahiran merupakan suatu proses panjang yang menjadi momentum awal tercatatnya sebuah sejarah Bangsa, Negara dan Daerah, eksistensinya sebagai sebuah entitas masyarakat memiliki makna yang dalam bagi peradaban manusia. Sebagai salah satu Kabupaten di selatan Sulawesi Selatan, Jeneponto tumbuh dengan budaya dan peradaban tersendiri seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman.
Setelah melalui serangkaian pembahasan dengan berbagai pertimbangan oleh para pakar, pemerhati sejarah, peneliti, sesepuh dan tokoh masyarakat Jeneponto maka 1 Mei 1863 disepakati sebagai hari jadi Jeneponto. Kesepakatan itu diambil dalam sebuah seminar kemudian ditetapkan melalui Perda nomor 1 Tahun 2003, berdasarkan pertimbangan historis, sosiokultural dan struktur pemerintahan, baik pada masa pra dan pasca kemerdekaan R.I maupun pertimbangan eksistensi dan norma-norma serta simbol-simbol adat istiadat yang dipegang teguh dan dilestarikan oleh masyarakat.
Ditetapkannya 1 Mei 1863 sebagai momentum ‘kelahiran’ tidak terlepas dari rangkaian peristiwa bersejarah yang melatarbelakangi, diantaranya;
- Berpisahnya Bangkala dan Binamu dengan Laikang sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Belanda (November 1863);
- Pengangkatan Raja Binamu oleh To’do’Appaka sebagai lembaga adat yang representatif mewakili rakyat (Mei 1929);
- Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 menetapkan terbentuknya Daerah Tk.II Sulawesi Selatan dan terpisahnya Takalar dari Jeneponto (Mei 1959);
- Simbol patriotisme dan perlawanan Raja Binamu (Mattewakkang Daeng Radja) terhadap pemerintahan kolonial Belanda dengan meletakkan tahta sebagai Raja (Mei 1946).
Mengenang rangkaian peristiwa bersejarah serta jasa-jasa para pendahulu maka Pemerintah Kabupaten Jeneponto bersama masyarakat sejak 2003 pada masa kepemimpinan Bupati DR. Baharuddin Baso Tika secara rutin memperingati hari jadi yang tahun ini merupakan tahun terakhir kepemimpinan Iksan Iskandar - Paris Yasir.
Baca juga:
Tony Rosyid: Firli dan Prahara di KPK
|
Kunci Emas
87 tahun setelah 1 Mei 1863 tepatnya 15 Maret 1960 lahir sebuah resolusi sebagai ungkapan perasaan masyarakat yang diwakili oleh 24 tokoh masyarakat Turatea perantauan - sebutan untuk anak negeri yang sedang tidak berdiam di butta Turatea - kepada Petugas Negara yang akan atau sedang memimpin Jeneponto sebagai butta passolongang cera’ - tanah tumpah darah-.
Naskah amanah masyarakat turatea perantauan itu berisi 10 petuah - dalam EYD - :
1. Jadilah pemimpin yang mencintai dan dicintai rakyat;
2. Jadilah abdi negara yang memikirkan kepentingan negara dan bangsa dan bukan sebagai politikus yang memikirkan diri sendiri;
3. Hargai kelebihan dan pendapat kawan dan lawan, dan sadarilah pula kekurangan-kekurangan diri sendiri;
4. Jujurlah terhadap sesuatu dan berusahalah memenuhi hasrat semua golongan;
5. Tenang dan bijaksanalah dalam mengambil keputusan sesuatu masalah, tetapi dalam melaksanakan keputusan itu haruslah tegas;
6. Nilailah seseorang bukan saja pada masa lampaunya tetapi pada masa sekarangnya;
7. Jangan lekas puas terhadap hasil kerja supaya mendapat kemajuan dan dijadikan setiap kegagalan sebagai pendorong sampai berhasil;
8. Ikut-sertakan semua golongan pada meja kerja dan meja makan, artinya hargailah musyawarah dan kerjasama dalam melaksanakan sesuatu;
9. Dalam bekerja ajaklah diri sendiri dahulu baru orang lain;
10. Tahulah bersyukur dan berterima kasih atas bantuan orang lain.
Pada bagian atas naskah tersebut tersemat sebilah kunci yang terbuat dari emas murni seberat 250 gram sebagai perlambang pembuka pintu hati bagi setiap petugas di daerah turatea untuk bekerja dan membangunnya. 24 tokoh yang menorehkan namanya pada naskah tersebut diantaranya Sjamsuddin Dg. Mangawing, Drs. Muh. Daud Nompo, Aliem Bachrie, Mustafa Djalle, A.M. Saied Sila, dkk.
Pemerintahan yang baik
Mungkin generasi milenial sekarang ini mempertanyakan relevansi amanah 63 tahun lalu itu dengan kondisi saat ini, dimana benang merah yang menghubungkan petuah masa lalu dengan semangat membangun peradaban pemerintahan modern yang menuntut kolaborasi, akselerasi, akuntabilitas dan seterusnya. Untuk memahaminya kiranya kita harus menyelam jauh ke dalam hakikat hadirnya pemerintahan yang baik, dalam pappasang tautoa - pesan leluhur - dikiaskan sebagai siri’na tuma’buttayya niaki ri pamarentayya yang menggambarkan betapa berat beban yang diemban oleh seorang petugas negara -pemerintah - karena di pundak merekalah rakyat meletakkan harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya.
Pertanyaannya masih adakah anak anak negeri - putra daerah - yang saat ini tengah merantau dan peduli pada tanah tumpah darahnya, memberi petuah-petuah bermakna, masih adakah semangat perantau yang memiliki ikatan erat secara emosional dengan negeri - daerah - nya dan rakyat - masyarakat-nya, dan karena itu mereka merasa perlu untuk ‘mengingatkan’ para pejabat pemerintah yang tengah mengemban amanah agar berlaku adil dan bijaksana dalam memimpin, sebab setiap pemimpin akan menulis sejarahnya sendiri sebagaimana kunci emas yang telah tersimpan rapi dalam kotak sejarah.
Penulis: Pengurus Lembaga Adat Mattewakkang Daeng Jungge.